Apa jadinya jika seorang Gus yang manja tiba-tiba kehilangan
Uminya di saat ia masih asyik main ke sana ke mari dan lebih sering
kabur-kaburan dari pesantren karena tidak mau dilimpahi tanggung jawab untuk
menjadi kyai?
Seakan belum cukup cobaan yang harus dihadapi Gus Mafazi
sepeninggal Ummi-nya, ia ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa Abahnya
menikah lagi dan berimbas pada hadirnya Harun, putra tiri yang berpotensi
mengancam kedudukan Gus Mafazi sebagai “pangeran” di pesantren tersebut. Gus
Mafazi kelabakan. Kedewasaannya diuji. Apa
pasal? Sang saudara tiri ini ternyata tidak hanya cakap, tetapi juga memiliki
pengetahuan agama yang mumpuni!
Beberapa komentar dan review pembaca:
“Tidak seperti novel pesantren yang lain, novel Dian Nafi ini sangat berbeda dan dekat dengan realita”
– Tri Wibowo, novelis
“Dian Nafi menyajikan kisah Gus sebagai calon penerima mahkota dari kerajaan kecil bernama ‘pesantren’. Dalam kata lain, novel ini seumpama etnografi gus dan persoalan tahta kekyaiannya, yang mana hampir di semua pesantren, para gus akan berurusan dengan persoalan ini. Novel ini menarik dan mendebarkan”
“Dian Nafi menyajikan kisah Gus sebagai calon penerima mahkota dari kerajaan kecil bernama ‘pesantren’. Dalam kata lain, novel ini seumpama etnografi gus dan persoalan tahta kekyaiannya, yang mana hampir di semua pesantren, para gus akan berurusan dengan persoalan ini. Novel ini menarik dan mendebarkan”
- Raedu Basha, penyair, novelis
REVIEW dari Utsuki:
Setiap manusia pasti pernah
dihadapi masalah dalam hidupnya, terutama harus dihadapkan pada dua pilihan
yang sama-sama memiliki pengaruh besar untuk kehidupannya nanti. Sulit untuk
memilih satu diantara mereka, apalagi jika salah satu pilihan itu diajukan oleh
orangtua yang pastinya telah berpikir matang akan kebaikan hidup anaknya. Seperti
itulah kegundahan yang ingin disampaikan oleh penulis kepada pembaca melalui
tokoh Mafazi.
Suasana kental pesantren yang
selama ini jauh dari bayanganku, terasa begitu nyata saat membaca buku ini.
Bahkan aku bisa membayangkan dengan begitu jelas posisi-posisi dan sudut-sudut
bangunan pesantren. Kebiasaan para santri yang terus mereka lakoni setiap hari,
mulai dari sholat berjamaah, mengaji bersama, membersihkan pesantren dan banyak
hal lainnya yang mereka lakukan di pesantren.
Nuansa islaminya juga begitu
terasa, banyak meninggalkan pesan-pesan yang bermakna mendalam. Namun sayang,
menurutku menjelang akhir buku nuansa keagamaannya tidak begitu kental lagi
seperti saat diawal-awal cerita.
Karakter para tokohnya juga
begitu kuat, mereka mendapatkan porsi yang sepadan. bahkan sosok sang Ummi yang
dikisahkan meninggal dunia di awal cerita masih terasa kehadirannya dikala
penulis menceritakan masa lalu berdirinya pesantren, kita juga bisa
membayangkan betapa gigihnya usaha beliau untuk membangun pesantren itu.
Secara keseluruhan saya suka buku
ini. Memberitahukan saya banyak hal tentang kehidupan pesantren, memberikan
beberapa pesan-pesan moral yang bijak, serta mampu membuat saya terbawa suasana
terlebih ketika meninggalnya Ummi, tak henti-hentinya saya mengalirkan air
mata, tak sanggup rasanya membayangkan bagaimana nanti jika ibu saya juga
meninggal? Semua adalah rahasia Tuhan.
Sukses untuk Mba Dian Nafi,
ditunggu karyanya yang selanjutnya.
REVIEW dari Indra M
"Gus", sebuah novel karya seorang "pecinta purnama, penikmat hujan",
yaitu Dian Nafi. Novel ini dilihat dari covernya sangat unik berwarna
hitam, tidak banyak tulisan-tulisan, hanya judulnya dan pengarangnya
saja. Terlihat siluet dua buah bangunan seperti bangunan pesantren.
Perpaduan warna hitam dengan sedikit warna hijau sangat pas sekali,
tetapi sedikit menimbulkan kesan seram bagi saya :D .
Masalah yang terjadi pada novel ini membuat novel ini tidak monoton, sehingga pembaca tidak akan merasa bosan untuk membaca berlama-lama. Masalah yang pertama yatu terbakarnya pondok pesantren, lalu meninggalnya Laili (ibunya). Tetapi masalah yang paling saya suka ketika perdebatan antara Sahlan(ayahnya) dan saudara iparnya dengan anak-anak Sahlan yaitu Nurul, Wahdah, dan Mafazi mengenai keinginan Sahlan untuk mempunyai istri baru yang bernama Safina. Perdebatannya sangat mempengaruhi emosi saya, saya tidak bisa membayangkan jika saya berada di posisi mereka.
Tokoh Mafazi, menjadi tokoh sentral dalam novel ini, Mafazi digambarkan sebagai anak bungsu dari pemilik pesantren, yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Sehingga, akibat dari perlakuan manja itu menjadikan Mafazi seorang yang berkepribadian malas. Sifat malas Mafazi berbanding terbalik dengan saudara tirinya, Harun. Harun yang pandai, pintar agamanya, dan sabar ini selalu mendapat perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya, termasuk ayah Mafazi sendiri. Hal itu menimbulkan kecemburuan Mafazi terhadap Harun, sehingga apapun yang diperbuat Harun selalu mendapat bentakan dari Mafazi. Namun Harun tetap sabar menghadapinya. Seiring berjalannya waktu, Mafazi mulai menerima kehadiran Harun dalam lingkungan keluarganya. Begitulah gambaran kisah Mafazi dalam novel "Gus" ini.
Dalam novel ini terdapat kutipan yang sangat menarik hati saya, kutipan tersebut yaitu: "Tanamlah padi, maka akan tumbuh padi, bahkan rumput juga tumbuh. Kalau menanam rumput, jangan harap akan tumbuh padi juga" (hal. 57-58). Maksudnya, jika kita berbuat sesuatu untuk tujuan akhirat, maka tidak saja akhirat yang kita dapat, tetapi duniawinya juga. Tetapi, jika kita bertujuan untuk duniawi, maka jangan harapkan akan mendapat balasan ukhrowinya.
Novel ini bukan hanya sebagai buku yang menghibur pembacanya saja, tetapi juga sebagai buku yang sarat pendidikan agama, seperti yang terdapat pada halaman 138 sampai halaman 145. Jadi, jika membeli novel ini, "seru"-nya dapat, ilmunya juga dapat, sebagaimana peribahasa: "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui."
Unsur "Bahasa Jawa" pada novel ini sangat kental sekali, hal tersebut sedikit membingungkan saya, karena saya tidak paham Bahasa Jawa. Selain itu, alur ceritanya sedikit terlalu cepat. Tokoh Mia seharusnya sedikit diceritakan di awal atau di tengah cerita, tidak langsung di akhir. Namun, kekurangan tersebut tidak mengurangi keluarbiasaan novel ini.
Buku ini sangat cocok bagi semua kalangan untuk dibaca di waktu senggang. Buku ini juga cocok untuk mengobati mood yang sedang down.
Masalah yang terjadi pada novel ini membuat novel ini tidak monoton, sehingga pembaca tidak akan merasa bosan untuk membaca berlama-lama. Masalah yang pertama yatu terbakarnya pondok pesantren, lalu meninggalnya Laili (ibunya). Tetapi masalah yang paling saya suka ketika perdebatan antara Sahlan(ayahnya) dan saudara iparnya dengan anak-anak Sahlan yaitu Nurul, Wahdah, dan Mafazi mengenai keinginan Sahlan untuk mempunyai istri baru yang bernama Safina. Perdebatannya sangat mempengaruhi emosi saya, saya tidak bisa membayangkan jika saya berada di posisi mereka.
Tokoh Mafazi, menjadi tokoh sentral dalam novel ini, Mafazi digambarkan sebagai anak bungsu dari pemilik pesantren, yang dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Sehingga, akibat dari perlakuan manja itu menjadikan Mafazi seorang yang berkepribadian malas. Sifat malas Mafazi berbanding terbalik dengan saudara tirinya, Harun. Harun yang pandai, pintar agamanya, dan sabar ini selalu mendapat perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya, termasuk ayah Mafazi sendiri. Hal itu menimbulkan kecemburuan Mafazi terhadap Harun, sehingga apapun yang diperbuat Harun selalu mendapat bentakan dari Mafazi. Namun Harun tetap sabar menghadapinya. Seiring berjalannya waktu, Mafazi mulai menerima kehadiran Harun dalam lingkungan keluarganya. Begitulah gambaran kisah Mafazi dalam novel "Gus" ini.
Dalam novel ini terdapat kutipan yang sangat menarik hati saya, kutipan tersebut yaitu: "Tanamlah padi, maka akan tumbuh padi, bahkan rumput juga tumbuh. Kalau menanam rumput, jangan harap akan tumbuh padi juga" (hal. 57-58). Maksudnya, jika kita berbuat sesuatu untuk tujuan akhirat, maka tidak saja akhirat yang kita dapat, tetapi duniawinya juga. Tetapi, jika kita bertujuan untuk duniawi, maka jangan harapkan akan mendapat balasan ukhrowinya.
Novel ini bukan hanya sebagai buku yang menghibur pembacanya saja, tetapi juga sebagai buku yang sarat pendidikan agama, seperti yang terdapat pada halaman 138 sampai halaman 145. Jadi, jika membeli novel ini, "seru"-nya dapat, ilmunya juga dapat, sebagaimana peribahasa: "Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui."
Unsur "Bahasa Jawa" pada novel ini sangat kental sekali, hal tersebut sedikit membingungkan saya, karena saya tidak paham Bahasa Jawa. Selain itu, alur ceritanya sedikit terlalu cepat. Tokoh Mia seharusnya sedikit diceritakan di awal atau di tengah cerita, tidak langsung di akhir. Namun, kekurangan tersebut tidak mengurangi keluarbiasaan novel ini.
Buku ini sangat cocok bagi semua kalangan untuk dibaca di waktu senggang. Buku ini juga cocok untuk mengobati mood yang sedang down.
8 Komentar
Barakallah mb dian atas novel barunya..smg sll sukses..Aamiin
BalasHapusAlhamdulillah. Terima kasih ya :)
HapusApik Mbak Dian. SUkses terus karya-karyanya ya, Mbak :)
BalasHapusmatur suwun, Widya. Aamiin amiin. sukses untukmu juga ya:)
HapusKak, teruslah menginspirasi dan ssemangat selalu. Banyak sahabat yang menyayangimu :hug:
BalasHapusterima kasih, Nyi. Aamiin aamiin, insya Allah. *peluk balik :)
HapusAku penasaran belum baca karyamu yang ini, Mbak. Ehm...seperti biasa bau bau ilmu agama kental di sini ya. SUKA.
BalasHapusterima kasih ya sudah baca dan review buku-bukuku. ayo baca yang ini juga :)
Hapus