Membaca kata memesona, seketika aku ingat salah satu tulisanku di awal karir kepenulisanku dulu. Sebuah cerpen dengan judul: Suamiku, Aku Makin Memesona, Kan? Cerpen ini menjadi juara kedua sebuah kompetisi yang diselenggarakan penerbit Jogja. Semua cerpen pemenang dijadikan satu antologi, dan inilah antologi pertamaku yang kemudian membawa aku masuk ke dunia persilatan kepenulisan.
Based on true story, cerpen itu kuramu dari curhatan sahabatku yang diselingkuhi oleh suaminya. Setelah bertahun-tahun mengabdi pada suami dan keluarga, sampai rela meninggalkan bangku kuliah dan tidak berkarir apapun, suami justru mengkhianatinya. Namun di saat terpuruk ini, sahabatku ini malah mendapatkan kesempatan untuk keluar dari tempurung yang selama ini mengurungnya. Dia mengeliminir kegelisahan hatinya dengan menggunakan waktunya untuk berkiprah di dunia pendidikan. Merintis PAUD di lembaga mertua dan ipar yang memang dekat dan mendukung dirinya sedari awal pernikahan. Sehingga sang suami yang tadinya hendak berpaling ke wanita lain, kemudian menyadari justru istrinya kini jauh lebih memesona. Begitulah cerita itu akhirnya menarik perhatian juri, karena sesuai dengan tema lombanya: Titik Balik. Sahabatku ini mendapatkan titik baliknya, dari perempuan yang teraniaya menjadi seseorang yang akhirnya punya kesempatan melanjutkan pendidikannya lagi, mengembangkan lembaga pendidikan dan juga karir serta kiprahnya bagi masyarakat yang lebih luas. Subhanallah.
Kemenanganku dalam lomba bertema Titik Balik itu rupanya juga sekaligus menjadi titik balikku. Sebab di masa itu memang aku sedang berada di titik nadir. Suamiku baru saja meninggal dalam kecelakaan, meninggalkan dua balita. Kerjaanku di bidang arsitektur terbengkelai karena aku harus meng-handle dari kota lain dengan waktu serta energi terbagi untuk mengasuh dua balitaku. Di kota kecilku seperti tak ada harapan untukku berkembang. Lalu tiba-tiba Tuhan membukakan jalan baru, karir kepenulisan.
Adalah antologi puisi Tiga Biru Segi yang hasil penjualannya disumbangkan untuk membantu korban bencana alam waktu itu, menjadi buku terbitan pertama di samping novelku Mayasmara. Selain menulis untuk penerbit lain, aku juga membantu teman-teman untuk menerbitkan buku mereka. Demikianlah semuanya bergulir dan alhamdulillah membawaku makin mencintai dunia kepenulisan ini. Yang ajaib dan menarik dari menulis adalah kita justru makin merasa tertantang untuk banyak membaca dan belajar banyak hal. Bertemu banyak orang, mengalami banyak peristiwa, semakin banyak merenung, berkontemplasi. Dengan demikian semoga makin banyak ilmu dan hikmah juga pada akhirnya menjadi manusia yang sejati dan paripurna.
Masih panjang jalan harus kutempuhi. Semoga Allah memberikan kemudahan, pertolongan, hidayah dan ridloNya. Aamiin...
2 Komentar
Kisah hidupnya Mb Dian luar biasa, menginspirasi sekali buat saya.
BalasHapusSaya sendiri juga menyadari dengan menulis, sebetulnya membuat saya lebih belajar kehidupan dan lebih mengenal diri saya sendiri. Tak hanya memuaskan pribadi semata.
Salam kenal dari Medan, mb
Terima kasih banyak atas apresiasinya ya.
HapusTerus menulis dan menginspirasi, yuk.
Salam kenal kembali :)