Berlari Menujumu
Memutuskan untuk melepas dan mengirim anak ke pondok
pesantren sebenarnya aalah hal yang tidak mudah. Karena sebagai orang tua, kita
cenderung ingin memberikan anak-anak dekapan hangat setiap hari, perhatian juga
nasihat sebagai bagian dari cara-cara ibu mengungkapkan cinta.
Namun langkah memondokkan anak ke pesantren sudah menjadi tradisi dalam
keluarga kami. Selain untuk melatih kemandirian, anak-anak juga akan
mendapatkan bekal ilmu agama dan pembiasaan ibadah serta good habit lainnya
yang penting untuk pembentukan karakter mereka di masa depan. Insya Allah.
Meski dalam perjalanan dan kenyataannya, ada beberapa hal yang tidak bisa
kita lakukan sebagaimana biasanya para ibu yang putra-putrinya selalu berada di
dekat mereka karena tinggal satu rumah. Kalau anak sedang menghadapi masalah,
seperti sikap teman yang mengganggu ataupun hal-hal lainnya, secara fisik kita
tidak bisa serta merta berada di dekatnya untuk memberikan dukungan ataupun
mendengarkan keluh kesah isi hatinya.
Apalagi jika anak sedang sakit. Rasa khawatir, cemas kadang mengalir,
melintas. Walaupun kita sudah mengunjungi anak ke pesantren pada hari-hari
maupun waktu-waktu yang telah disepakati dengan pondok pesantren ataupun
sekolahnya, kadang risau tiba-tiba menelisip ke dalam hati. Yang bisa aku
lakukan sebagai bentuk perhatian ibu agar anak selalu dekat, adalah berusaha
memperhatikan kebutuhannya. Berusaha menjemput sendiri di masa liburnya sehari
di rumah, walaupun ada banyak kegiatan dan job pada hari yang sama. Walaupun
sebenarnya aku bisa meminta saudaraku yang lain untuk menjemputnya jika aku
sedang ada kerjaan. Tapi aku justru memasukkan hari dan tanggal bersamanya itu
dalam agendaku sebagaimana aku memasukkan jadual penting lainnya seperti job
manggung atau liputan serta deadline-deadline.
Kadang bahkan aku bisa menyambangi atau mendatanginya ke pesantren atau
sekolah dalam beberapa hari berturut-turut demi meyakinkan bahwa dia dalam
keadaan sehat dan baik. Pernah suatu ketika tahu-tahu naluriku sebagai ibu
membisikkan bahwa ada sesuatu yang tengah terjadi pada dirinya. Buru-buru aku
mengirim pesan ke pengurus pesantren. Benar saja, anakku sedang sakit dan tidak
masuk sekolah. Langsung saja tanpa ba bi bu, aku cap cus segera berangkat
menuju pesantrennya.
Setengah berlari aku pergi menghambur ke dalam kompleks pesantren, minta
ijin pada pengurus. Dan begitu mereka mempersilahkan aku naik ke lantai dua,
aku langsung berlari menapaki anak tangga. Menemui anakku yang tengah terbaring
di dalam kamarnya di pesantren.
Dahinya panas dan wajahnya pucat. Dia tampak terkejut melihatku datang.
“Kok Umi tahu kalau aku sakit?” dia memegang tanganku dan mencium punggung
telapak tanganku. Dia berusaha bangkit dari tidurannya tapi aku merebahkannya
kembali.
“Iya, tadi Umi tanya kabarmu ke pengurus. Sejak kapan sakitnya?” kuciumi
keningnya.
“Kemarin, Mi. Kepalaku sakit banget. Tapi sore kemarin aku sudah diantar
pengurus ke klinik dan dikasih obat,” dia menunjuk bungkusan di sebelahnya.
Seperti biasanya kalau di rumah pun, jika anak-anak sakit aku memberikan
Tempra. Karena aman di lambung; tidak perlu dikocok, larut 100%; dan dosis
tepat (tidak menimbulkan over dosis atau kurang dosis)
“Terima kasih, Umi,” dia memberikan senyuman terbaiknya meski bibirnya
pucat.
Aku mengangguk menahan haru dan pilu. Apalagi saat melihat pancaran cinta di matanya yang menghargai kunjungan cepatku pagi itu yang didorong oleh rasa kasih sayang.
"Kalau sakit, tolong kabari Umi ya, Nak. Terus minum obatnya nanti hingga sembuh. Dan jaga kesehatan," pesanku.
Dia mengangguk-angguk sembari berusaha menyembunyikan haru deru cintanya.
Artikel ini diikutsertakan dalam lomba blog yang
diselenggarakan oleh Blogger Perempuan Network dan Tempra.
0 Komentar