Rasya dan Aida, pasangan muda idealis ini, lama kelamaan kerasan juga tinggal di pojok Indonesia. Di bagian paling ujung barat kepulauan Nusantara. Meski jauh dari keluarga di Jawa, tapi toh semuanya masih bisa saling berkomunikasi. Era digital dengan skype sedikit banyak menambah jalur silaturahmi setelah telpon, email dan fesbuk. Ida yang sebenarnya punya kesempatan untuk mendapat beasiswa kuliah S2, terpaksa melepaskan peluang bagus itu. Demi bisa mengikuti ke mana pun Rasya ditugaskan sebagai hakim pengadilan negeri. Sehingga Ida yang sebenarnya sangat cemerlang, harus terima hanya menjadi pegawai biasa. Yang penting bisa satu kota dan satu kantor dengan suaminya yang sangat dia cintai dan hormati.
Berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain yang masih sama-sama di Sumatra dilakoni sebagai sebuah konsekuensi. Menjadi abdi Negara berarti siap ditempatkan dan dipindahkan ke mana saja. Meskipun harus lelah dan capek karena musti memboyong istri dan anak-anak. Bahkan si sulung, Tania yang sudah berpindah-pindah dari sejak bayi sampai kelas dua sekolah dasar ini, menikmatinya sebagai sebuah petualangan. Juga kesempatan melihat berbagai tempat di Indonesia dan bertemu banyak teman dari berbagai suku dan daerah.
Hanya saja beban yang tadinya tidak begitu dirasakan, alias berusaha diabaikan, ternyata makin tambah terasa. Terutama saat Ida melahirkan anak yang ketiga. Tempat tinggal mereka yang tak bisa disebut sebagai rumah karena lebih mirip barak bagi tentara, terasa makin sempit dan tak nyaman. Sementara perkara-perkara yang ditangani di pengadilan semakin berat. Tidak saja butuh keadaan tubuh yang fit dan sehat lahir batin, tapi juga kemampuan pengetahuan yang lebih. Tapi bagaimana mau kuliah lagi, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saja sudah kembang kempis. Biaya kehidupan semakin tinggi. Dan godaan-godaan semakin banyak.
Berapa orang yang terpaksa Rasya tolak karena berusaha menyuap. Berapa orang yang Rasya pulangkan karena berusaha membujuk. Rasya dan Ida semakin merasa tidak nyaman saat ada beberapa orang yang menelpon dan mengancam keamanan keluarga mereka. Tak jelas siapa dan pada kasus apa orang tersebut tersangkut kaitannya dengan pengadilan tempat Rasya bekerja.
Dalam keadaan tinggal dalam lingkungan tanpa jarring pengamanan seperti ini, segala sesuatu bisa terjadi. Dia mengupayakan tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman. Tapi kendalanya adalah biaya. Sedangkan tunjangan yang dijanjikan oleh pemerintah bagi mereka tak juga kunjung turun. Bahkan kesannya alot dan berlarut-larut pelaksanaannya. Berbulan-bulan uang tunjangan bagi para hakim itu entah di mana nyangkutnya. Sulit terlacak.
Keresahan Rasya ternyata juga dirasakan teman-teman seprofesi. Para hakim muda yang terhubung berkat fesbuk dan mail list ini pun makin sering berdiskusi. Berbagai curhat juga wacana dari seluruh pelosok negeri menggelitik Rasya. Maklumlah, dia yang seorang ketua BEM alias Badan Eksekutif Mahasiswa semasa masih kuliah, memang memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi.
Berulang kali memimpin organisasi sejak masa sekolah dan mengerakkan banyak rekan serta melobby banyak pihak. Tercetuslah ide untuk melakukan move. Sebuah gerakan untuk memperjuangkan nasib para hakim di seluruh Indonesia. Bukan saja agar tunjangan yang ngendon berbulan-bulan itu bisa turun, tetapi juga menuntut kenaikan gaji.
Dia membuat grup fesbuk yang beranggotakan para hakim di seluruh Indonesia. Kebanyakan pegiatnya adalah para hakim muda yang menamakan dirinya himpunan hakim muda progresif. Dengan slogan dan semboyan bersih dan jujur. Segera saja gerakan ini meluas dengan cepat. Banyak sekali dukungan yang berdatangan. Mengingat kegerahan ini sebenarnya sudah cukup lama ada. Tetapi belum ada yang berani menyuarakan dan memimpin serta mengarahkan.
Nama Rasya yang selama ini memang sudah punya banyak penggemar di fesbuk semakin dikenal luas. Bersama dengan yang lainnya, mereka mulai merumuskan seperti apa gerakannya. Kepada siapa suara ini akan ditujukan. Kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi dan banyak lagi lainnya. Kepada para pembuat kebijakan di pusat, Rasya dan teman-teman mengirimkan proposal dan maksud tujuan mereka.
Kini bukan saatnya mereka pasrah terus akan nasib yang makin tak jelas dan terkatung-katung. Ini bukan masalah uang atau materi. Ini adalah masalah kehormatan dan harga diri bangsa. Berbekal tekad inilah keberanian itu terhimpun dan semakin menguat. Mereka bergerak untuk sebuah tujuan mulia.
Mulailah Rasya serta beberapa teman, yang merupakan perwakilan dari ratusan hakim, diundang ke Jakarta untuk audiensi dengan para pengambil kebijakan. Biaya transportasi dan akomodasi pada mulanya ditanggung sendiri-sendiri. Seiring perjalanan perjuangan yang makin kompak dan massif, para hakim ini mengumpulkan dana untuk mendukung perjuangan. Mereka dengan sukarela mentransfer biaya ke rekening bersama, yang penggunaan dan pengelolaannya diumumkan secara terbuka. Dan siap diaudit dengan seksama oleh pihak independen.
Di sisi lain, para wartawan media cetak maupun televise mulai mencium juga gerakan ini. Mereka di satu sisi mengambil kesempatan karena mendapat bahan berita yang fresh, actual tapi juga controversial. Di sisi lain, mereka juga sedikit banyak membantu gerakan hakim muda progresif ini untuk menge-push atau mendorong segera sebuah pengambilan kebijakan yang ditunggu banyak orang. Mereka memperbincangkan lagi aksi Rasya dan teman-temannya. Juga serangkaian wawancara Rasya di radio dan televise akhir-akhir ini.
Arifah tak pernah mengira bahwa putra menantunya akan menjadi seperti sekarang ini, menjadi pemimpin para hakim yang menuntut hak dan kesejahteraan mereka. Malam-malamnya kini penuh dengan sujud panjang dan doa agar menantu dan anak serta cucunya diberi keselamatan.
Bagaimanapun bayangan dan ingatan tentang perlakuan ‘para pejabat tinggi’ di masa orde baru terhadap ‘para demonstran’ dan ‘pemrotes kebijakan’ masih melekat dalam benaknya. Kadang-kadang ‘imbalan’nya bisa berupa tidak dinaikkannya pangkat, dibuang ke tempat-tempat yang jauh, dipecat, bahkan ada yang sampai harus kehilangan nyawa. Dia buru-buru menelpon menantunya yang sudah tiba di bandara dan siap ke Jakarta, lagi. Rasya menerima telpon ibunya dengan senyum terkembang. Dia tahu perhatian dan kecerewetan mertuanya ini adalah buah dari kasih sayang serta karena menganggap Rasya sebagai putranya sendiri.
Bagaimanapun bayangan dan ingatan tentang perlakuan ‘para pejabat tinggi’ di masa orde baru terhadap ‘para demonstran’ dan ‘pemrotes kebijakan’ masih melekat dalam benaknya. Kadang-kadang ‘imbalan’nya bisa berupa tidak dinaikkannya pangkat, dibuang ke tempat-tempat yang jauh, dipecat, bahkan ada yang sampai harus kehilangan nyawa. Dia buru-buru menelpon menantunya yang sudah tiba di bandara dan siap ke Jakarta, lagi. Rasya menerima telpon ibunya dengan senyum terkembang. Dia tahu perhatian dan kecerewetan mertuanya ini adalah buah dari kasih sayang serta karena menganggap Rasya sebagai putranya sendiri.
Rasya blingsatan saat dia dikeroyok ibu mertua dan saudara-saudara iparnya. Dari Jakarta memang dia menyempatkan diri singgah di Jawa Tengah, di kediaman ibu mertua dan ibunya sendiri. Dia punya misi agar ibu mertuanya yang juga hakim, meskipun hakim pengadilan agama, juga menjadi corong bagi perjuangannya. Gegara Rasya membuat gerakan yang mengumpulkan para rekan hakimnya untuk menuntut hak mereka yang selama ini diabaikan, dia memang beberapa kali mendapat ancaman.
Tapi Rasya pantang mundur. Baginya kebenaran harus disuarakan. Dirinya dan banyak temannya yang menjadi hakim bertahun-tahun harus terima menjadi pegawai tanpa fasilitas. Padahal tuntutannya besar dan banyak. Bagi keluarga hakim yang membutuhkan uang, suap bisa melenakan. Bagi keluarga hakim yang terancam keamanannya, hanya kompromi yang memungkinkan. Pemerintah sekian lama abai akan hal ini. Dan bukannya fasilitas pengamanan, rumah dinas, beasiswa pendidikan lebih lanjut ataupun tunjangan lainnya, bahkan uang kesejahteraan yang sudah dijanjikan tak kunjung turun. Padahal itu asli hak para hakim. Rasya dan teman-temannya membuat gerakan ini. Dalam rangka move, baik lewat dunia maya maupun pertemuan dan diskusi langsung dengan para pengambil kebijakan terkait.
Justru dari dalam korps kehakiman sendiri, ada juga segelintir orang yang hendak menggembosi dan menggagalkan perjuangan yang dipimpin Rasya. Padahal Rasya tidak berjuang untuk dirinya sendiri. Tapi untuk seluruh hakim di Indonesia. Dan padahal jika usulannya ini diterima, yang mendapat tambahan banyak tunjangan bukannya dia dan teman-teman yang terhitung masih hakim muda, tetapi justru yang senior sesuai tingkat kepangkatannya akan mendapat lebih banyak.
Begitulah, di manapun berada seorang pahlawanpun memiliki haters alias pembenci. Tapi Rasya terus berjalan. Dia melalui berbagai jalan untuk menempuh dan mencapai tujuan mulia ini. Demi makin tegaknya hokum di Indonesia. Bahkan wajahnya wara wiri di berbagai televise nasional karena seluruh Indonesia menyorot hal ini. Bolak balik Sumatra Jakarta untuk audiensi dengan para pejabat dan petinggi, dicecar berbagai pertanyaan bahkan tudingan.
Namun sekali layar dibentangkan, dia tak akan surut. Tak berhenti pada berbagai ujian dari teman sendiri dan para penyusup. Tetapi juga kekerashatian para pengambil kebijakan. Alasannya ada-ada saja. dari alasan teknis, birokrasi sampai dengan psikologis dan masih banyak lagi. Yang paling menyesakkan adalah semakin hari, semakin mendekati hari H yang ditetapkan sebagai deadline, ternyata tak kunjung ada kepastian. Semua orang merasa ketar-ketir. Kepalanya juga sama peningnya. Nama baiknya dipertaruhkan. Sebagian haters dan juga perusuh sudah terus-terusan menyerang.
Apakah hakim muda ini berhasil memperjuangkan kebenaran dan keadilan?
Novel Fight For Right bisa dibeli via google books dan google play
0 Komentar