Beruntung banget aku bisa ikutan Festival Etalase Sekolah Pemikiran Perempuan. Meskipun harus membagi pikiran dan waktu juga energi sebab harus mengikutinya bersamaan dengan webinar-webinar lain yang juga sudah ada agendanya duluan di jadwalku.
Hari pertamanya aja aku harus ikutan barengempat event
- Festival Pemikiran Perempuan
- Kelas International Geneology Islamic Feminism (hari terakhir dari 5 seriwebinar)
- Tribute to pak Sapardi Djoko Damono: Pada Suatu Hari Nanti dari KG Kompas Gramedia
- Charlotte Mason: Parenting Movement
Hari keduanya, musti sekaligus mengikuti dua webinar
ada Zoominar Ethnographic Research Field Note Leiden (seri terakhir dari 8 seri zoominar)
dan Festival Etalase Sekolah Pemikiran Perempuan ini.
Ini rangkuman sesi kedua hari kedua yang sempat kurekam dalam thread cuitan twitterku.
Riwayat adl cara menyambung rasa dg tokoh Jejak2 kerja dan karya perempuan sering terpiuh oleh patriarkis Lasminingrat 1875 menerbitkan 3 buku dongeng 6rb eksemplar Perempuan pertama yg bukunya diterbitkan batavia Sekolah keutamaan istri di garut
Lasmi punya akses, kemudahan dr org2 terdekat Tdk digunakan utk kenyamanannya sendiri Menyadur buku2 eropa ke bhs sunda agar bisa dibaca byk org
Peduli
Berani
Isu yg diangkat dlm 3 ceritanya
Perempuan dan area domestik
Hak atas tubuh, hak memilih
Perempuan yg berstrategi
Lasmi mengajak perempuan berdaya Tdk mengandalkan ketemu pangeran, dpt labu ajaib dst
Knapa lasmi tdk sepopuler raden kartawinata, kakaknya, yg dpt pengajaran sama Fasilitas negara, media yg tdk beri tempat dan ruang bagi perempuan
**
Huriyah adam
Huriyah adamtdk berusia panjang, 35th, tp py peninggalan penting Ayahnya kyai, transformasi parewa ke kyai Parewa memlih jalan liminal Terkait erat dg adat minang Py jalan hidup rintisan yg beda Sekolah madrasahputri dg kurikulum maju, memadukan dg lukis, musik,drama
Ayahnya memanggil guru silat Nagari desa adat minangkabau Huriyah menulis drama remaja Patung karyanya masih berdiri di tengah kota saat ini Kuliah di asri hy 1 th Krn ayah wafat, jd huriyah pulang utk ngajar sekolah madrasah putri
Membuat 100 an tari. Konsep temuan perempuan huriyah Jk menginjak semut, semut tdk mati. Tapi jika menabrak opo mau, dia akan menghancurkannya 1968 momentum penting tari indonesia di TIM Modifikasi dg silat minang agar org2 bs menguasai dg mudah
Pengaruh Huriyah thdp byk tari Tari maraba masih diajarkan di padangpanjang Ia wafat ketika pesawatnya jatuh di perairan saat balik ke padang
**
TENTANG Etalase Pemikiran Perempuan
Intan Paramadita co-organizing a feminist fest this weekend. They call it Etalase Pemikiran Perempuan, an 'etalage' (display) for women thinkers/creators across cultures & generations in Indonesia. They resist the marginalization & erasure of women from knowledge production.
Nih kata mbak Tntan tentang festival ini:
The festival is tied up to Sekolah Pemikiran Perempuan, an experimental feminist “school" we started in 2018. Situating (Third World) women as knowing subjects, it is a form of “epistemic disobedience” (Mignolo) to the colonial, capitalist, & heteropatriarchal knowledge system.
"All-male panel" is just an index of a deeper problem. Women in the Global South are at the bottom of knowledge pyramid. Their challenge is not just eurocentrism (1st World theory, 3rd World data) but also their exclusion fr local knowledge institutions (state, customs, religion)
I have been sharing posts in Indonesian language, but I also want to introduce some of the brilliant women -- across the archipelago —who’d share their knowledge at our festival to my non-Indonesian speaking friends. I am namedropping because women's names are not easily dropped:
Feminist Prof Melani Budianta will tell us about her teacher, Tuti Indra Malaon. Tuti was an award-winning Indonesian film & theatre actress in the 70s-80s. She taught drama at the English Dept, University of Indonesia & supervised Melani's thesis on Harold Pinter.
Etalase challenges the exclusion of women from historiography. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, one of our most exciting contemporary writers, will share a story of Tan Lam Nio (Dahlia), a Chinese-Indonesian woman writer in the colonial period.
Papuan anthropologist Rhidian Yasminta Wasaraka will share her research on gender & the Korowai tribe. Her project challenges the Western discourse of the 'Primitive Other' and provokes questions on the coloniality of gender. She will speak in our panel on Decolonial Feminism.
Sri Harti (Kenik Asmorowati) is one of the few female dalang (shadow puppet masters) in Indonesia. Questioning the stereotypical roles of women in the shadow puppet tradition, she said, "I wanted to write a script as a woman and tell women's stories.
Interrogate. Disrupt. "Bongkar Kata" (Unpacking Words) is a method we propose in Sekolah Pemikiran Perempuan. We've invited Papuan scholar @ElviraRumkabu to unpack the word "racism."
Kahi Ata Ratu is one of the most celebrated jungga artists & singer-songwriters from East Sumba. Listen to stories behind her songs in #EmpatPuanSuara @ciptamedia
Ata Ratu wrote a powerful song responding to the impact of the pandemic on mobility & home:
Etalase Pemikiran Perempuan was organized by women, for women, to celebrate women as valid producers of knowledge.
Harapannya, Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) dapat mewujudkan adanya teorisasi feminisme versi Indonesia secara organik dan kolektif melalui ruang-ruang seperti Etalase ini.
Etalase Pemikiran Perempuan 2020: Sebuah Festival merupakan perjalanan lanjutan Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP), sebuah ruang belajar berdasarkan pengalaman perempuan dan pemikiran-pemikirannya.
Pada kesempatan kali ini, Intan Paramaditha sebagai salah satu pengampu, memaparkan tentang SPP, visi-misinya, serta kebutuhan produksi pengetahuan feminisme Indonesia dan teorisasinya
Apa itu Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP)?
Bagaimana SPP mendefinisikan "feminisme"?
Mengapa perlu ada teori feminisme Indonesia?
Bagaimana cita-cita SPP untuk menjaga produksi pengetahuan (dan teorisasinya) serta membaginya untuk perempuan Indonesia?
Ini rangkuman sesi kedua hari kedua yang sempat kurekam dalam thread cuitan twitterku.
Riwayat adl cara menyambung rasa dg tokoh Jejak2 kerja dan karya perempuan sering terpiuh oleh patriarkis Lasminingrat 1875 menerbitkan 3 buku dongeng 6rb eksemplar Perempuan pertama yg bukunya diterbitkan batavia Sekolah keutamaan istri di garut
Lasmi punya akses, kemudahan dr org2 terdekat Tdk digunakan utk kenyamanannya sendiri Menyadur buku2 eropa ke bhs sunda agar bisa dibaca byk org
Lasmi mengajak perempuan berdaya Tdk mengandalkan ketemu pangeran, dpt labu ajaib dst
Knapa lasmi tdk sepopuler raden kartawinata, kakaknya, yg dpt pengajaran sama Fasilitas negara, media yg tdk beri tempat dan ruang bagi perempuan
**
Huriyah adam
Huriyah adamtdk berusia panjang, 35th, tp py peninggalan penting Ayahnya kyai, transformasi parewa ke kyai Parewa memlih jalan liminal Terkait erat dg adat minang Py jalan hidup rintisan yg beda Sekolah madrasahputri dg kurikulum maju, memadukan dg lukis, musik,drama
Ayahnya memanggil guru silat Nagari desa adat minangkabau Huriyah menulis drama remaja Patung karyanya masih berdiri di tengah kota saat ini Kuliah di asri hy 1 th Krn ayah wafat, jd huriyah pulang utk ngajar sekolah madrasah putri
Membuat 100 an tari. Konsep temuan perempuan huriyah Jk menginjak semut, semut tdk mati. Tapi jika menabrak opo mau, dia akan menghancurkannya 1968 momentum penting tari indonesia di TIM Modifikasi dg silat minang agar org2 bs menguasai dg mudah
Pengaruh Huriyah thdp byk tari Tari maraba masih diajarkan di padangpanjang Ia wafat ketika pesawatnya jatuh di perairan saat balik ke padang
**
TENTANG Etalase Pemikiran Perempuan
Intan Paramadita co-organizing a feminist fest this weekend. They call it Etalase Pemikiran Perempuan, an 'etalage' (display) for women thinkers/creators across cultures & generations in Indonesia. They resist the marginalization & erasure of women from knowledge production.
Nih kata mbak Tntan tentang festival ini:
The festival is tied up to Sekolah Pemikiran Perempuan, an experimental feminist “school" we started in 2018. Situating (Third World) women as knowing subjects, it is a form of “epistemic disobedience” (Mignolo) to the colonial, capitalist, & heteropatriarchal knowledge system.
"All-male panel" is just an index of a deeper problem. Women in the Global South are at the bottom of knowledge pyramid. Their challenge is not just eurocentrism (1st World theory, 3rd World data) but also their exclusion fr local knowledge institutions (state, customs, religion)
I have been sharing posts in Indonesian language, but I also want to introduce some of the brilliant women -- across the archipelago —who’d share their knowledge at our festival to my non-Indonesian speaking friends. I am namedropping because women's names are not easily dropped:
Feminist Prof Melani Budianta will tell us about her teacher, Tuti Indra Malaon. Tuti was an award-winning Indonesian film & theatre actress in the 70s-80s. She taught drama at the English Dept, University of Indonesia & supervised Melani's thesis on Harold Pinter.
Etalase challenges the exclusion of women from historiography. Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, one of our most exciting contemporary writers, will share a story of Tan Lam Nio (Dahlia), a Chinese-Indonesian woman writer in the colonial period.
Papuan anthropologist Rhidian Yasminta Wasaraka will share her research on gender & the Korowai tribe. Her project challenges the Western discourse of the 'Primitive Other' and provokes questions on the coloniality of gender. She will speak in our panel on Decolonial Feminism.
Sri Harti (Kenik Asmorowati) is one of the few female dalang (shadow puppet masters) in Indonesia. Questioning the stereotypical roles of women in the shadow puppet tradition, she said, "I wanted to write a script as a woman and tell women's stories.
Interrogate. Disrupt. "Bongkar Kata" (Unpacking Words) is a method we propose in Sekolah Pemikiran Perempuan. We've invited Papuan scholar @ElviraRumkabu to unpack the word "racism."
Kahi Ata Ratu is one of the most celebrated jungga artists & singer-songwriters from East Sumba. Listen to stories behind her songs in #EmpatPuanSuara @ciptamedia
Ata Ratu wrote a powerful song responding to the impact of the pandemic on mobility & home:
Etalase Pemikiran Perempuan was organized by women, for women, to celebrate women as valid producers of knowledge.
Harapannya, Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP) dapat mewujudkan adanya teorisasi feminisme versi Indonesia secara organik dan kolektif melalui ruang-ruang seperti Etalase ini.
Etalase Pemikiran Perempuan 2020: Sebuah Festival merupakan perjalanan lanjutan Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP), sebuah ruang belajar berdasarkan pengalaman perempuan dan pemikiran-pemikirannya.
Pada kesempatan kali ini, Intan Paramaditha sebagai salah satu pengampu, memaparkan tentang SPP, visi-misinya, serta kebutuhan produksi pengetahuan feminisme Indonesia dan teorisasinya
Apa itu Sekolah Pemikiran Perempuan (SPP)?
Bagaimana SPP mendefinisikan "feminisme"?
Mengapa perlu ada teori feminisme Indonesia?
Bagaimana cita-cita SPP untuk menjaga produksi pengetahuan (dan teorisasinya) serta membaginya untuk perempuan Indonesia?
0 Komentar